Laman

10.4.11

Malu Kepada Allah Azza wa Jalla

Assalamu ‘alaikum wa rahmatulahi wa barakatuh... Allahu Rabbana,
Tak pantas aku menjadi penghuni
surga,
Namun tak juga kuat hamba dalam
bara neraka,
Maka perkenankan jiwa meminta, Ampunan atas khilaf dan nista
Sebab hanya Engkau, pengampun
yang paling Maha....
(Abu Nawas) Adalah seorang perempuan datang
menghadap Rasulullah dengan
wajah menatap tanah. Masih
dalam keadaan tertunduk,
perlahan terdengar nafas
beratnya keluar satu satu. Sebuah isyarat bahwa ia seperti tengah
dihimpit bertubi masalah. Dia
masih saja diam. Tak ada untaian
kata-kata. Rasulullah menunggu.
Beliau seolah tahu, seorang
perempuan datang ke hadapannya selalu dengan satu perlu. Dalam
beberapa jeda, Rasululah
membiarkan perempuan ini dalam
diamnya, memberinya
kesempatan untuk
mempertimbangkan apa yang hendak disampaikan. Dalam
kegundahan yang jelas terasa,
berkata juga sang perempuan. “Wahai manusia terbaik, dengan
apa kubahasakan malu ini pada
Allah Yang Maha Kuasa. Haruskah
dengan isak yang menyesak?
Dengan kata yang menyemesta?
Dengan keluhan-keluhan panjang?” “Apakah gerangan yang terjadi?” Rasulullah bertanya. “Demi engkau yang dijaga dari
segala khilaf, ingin kusampaikan
bahwa aku telah melakukan sebuah
dosa besar. Wahai Rasulullah,
betapa malu kumenghadapkan diri
kepada Allah. Betapa tersiksa, ketika hamba menengadah
mengharapkan benderang Nya.
Obati jiwa ini wahai kekasih-
Nya” perempuan ini mengucapkannya dengan gemetar.
Kini isakannya perlahan
terdengar. Rasulullah
mendengarkan keluh perempuan
dengan haru. Betapa perempuan
ini malu kepada Allah Yang Maha Pengampun. Betapa perempuan ini
tak mampu menengadahkan pinta
kepada Allah Yang Maha Asih dan
Maha Sayang. Hingga ia sekarang
bersimpuh peluh di hadapannya
untuk memohon penawarnya. Dari bibir manis Nabi terucap sebuah
titah. “Bertaubatlah kepada Allah, wahai
perempuan yang melakukan dosa
besar!” “Hamba teramat ingin
melakukannya, tapi bumi dan
langit telah menjadi saksi semua
dosa yang telah diperbuat, dan
bukankah kelak bumi dan langit
akan menjadi saksi di hari kiamat?” pedih perempuan ini sambil menangis. “Bumi tidak akan menjadi saksimu” tukas Rasul Allah. Allah
berfirman, “Hari ketika bumi diganti dengan bumi yang
lain..”” (QS Ibrahim : 48). “Allah juga akan melipat langit.
Bukankah Ia sendiri telah
berfirman, “Hari ketika Kami menggulung langit bagai
menggulung lembaran kitab ..”” (Al- Anbiya:104). Perempuan ini tersenyum
mendengar tutur Rasulullah.
Betapa ia juga merasakan bahwa
Rasulullah tengah meredakan
kegundahannya. Namun, senyuman
itu surut ketika tiba-tiba ia mengingat sesuatu. Ia pun
berseru. “Duhai Nabi, bukankah para
malaikat pencatat segala amalan
juga mencantumkan dosa besar itu
dalam buku mereka. Bagaimana
ini?” rintihnya putus asa. “Allah telah berfirman,
“Sesungguhnya amal baik dapat
menghilangkan amalan buruk”” (QS Hud :114. Nabi melanjutkan
“Orang yang bertaubat itu seperti
orang tak lagi punya dosa”. Kali ini perempuan mengangguk-angguk
lega, namun tak seberapa lama
kepalanya menggeleng keras, ragu
itu kembali menderas. “Lalu bagaimana dengan firman-
Nya yang menyebutkan “Hari ketika lidah mereka, tangan
mereka dan kaki mereka menjadi
saksi terhadap apa yang dahulu
mereka kerjakan”?” (QS An- Nur:24) tutur perempuan kepada
Nabi. Selanjutnya apa yang akan
disabdakan Rasulullah? Rasulullah pun kembali menjawab
dengan suara yang fasih.
Untaiannya begitu merdu
meyakinkan perempuan yang
bertanya. “Allah telah berfirman kepada
bumi, juga segenap anggota
tubuhnya : “Tahan dirimu, jangan tunjukkan kepada orang yang
diterima taubatnya, keburukan
selama-lamanya”. Suasana hening. Udara menghantarkan ketenangan.
Perempuan semakin tertunduk.
Ada banyak gumpalan perasaan
yang tak bernama. Allah Maha
Pemurah. Terakhir perempuan ini
berujar “Benar, wahai Rasulullah, itulah hak orang yang bertaubat.
Tetapi gemetar karena malu di
hari kiamat, dan rasa malu itu
juga adalah dari Allah.
Mungkinkah seorang hamba
menanggungnya? Padahal engkau pernah bersabda “Sesungguhnya orang yang berdosa pada hari
kiamat akan menyebut dosa-
dosanya lalu malu kepada Allah.
Keringat, dosanya, mengucur
karena malu. Air keringat akan
mengambang hingga menutup lututnya, ada yang menutup
pusarnya dan bahkan sampai
menutup kerongkongannya”. Tanpa menunggu Rasulullah pun bertutur. “Maka wahai orang yang beriman,
kenanglah hari itu, jangan pernah
melalaikannya. Bertaubatlah
kepada Allah, mendekatlah
kepada-Nya. Sesungguhnya Dia
adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang” Dan seketika perempuan ini
menangis, air mata yang tak lagi
sama seperti semula. Bening air
mata yang tumpah bukan lagi
karena gundah. Bukan karena lara.
Namun karena gundahnya reda dan laranya sirna. Ia mematrikan
setiap kuntum ucap dari sabda
Nabi yang Mulia di kedalaman
jiwa. Betapa Allah Maha
penerima taubat, Maha Penyayang
atas semua hamba. Sepenuh bumi ia sudah melakukan dosa,
sebanyak buih di laut ia pernah
berbuat khilaf, serta seberserak
pasir di pantai ia bernista maka
hanya dengan taubat semuanya
dapat tertebus. Dan dengan rahmat-Nya, Allah merengkuh
hamba yang kembali. Dan karena
cinta Nya, Allah akan segera
menghampiri seorang manusia
yang kembali pada-Nya meski
dengan tertatih ringkih. Sahabat, dalam setiap detik yang
berdetak. Dalam menit yang
berhamburan tak kenal ampun.
Juga dalam bilangan jam yang
menukik tak terhentikan. Diamlah
sejenak. Lihatlah di kedalaman jiwa. Tengok sebentar ujud
hatimu. Adakah rupanya bersinar
ataukah kau temukan ujud yang
legam?. Dan pabila rupa yang
kedua yang kau jumpai, maka
seperti ucapan perempuan yang bersimpuh peluh di hadapan
RasulNya tentang dosa-dosanya,
kita juga perlu mengadospsi
perkataannya sebagai
manifestasi malu “Dengan apa kubahasakan malu ini pada Allah
Yang Maha Kuasa. Haruskah
dengan isak yang menyesak?
Dengan kata yang menyemesta?
Dengan keluhan-keluhan panjang?” Tapi pernahkah kita malu dengan
menggunungnya dosa yang kita
perbuat. Pernahkah merasa
enggan bertemu Allah, karena
malu atas segala salah yang tak
akan luput dari pernglihatan-Nya? Malulah dari sekarang. Malulah
dengan sebenar-benar malu,
dengan sepenuh malu. Terlalu
sering kita berada di sudut yang
gelap karena keluar dari orbit
benderang-Nya. Terlalu mudah kita ingkari nikmat-Nya yang
begitu agung, hingga kita benar-
benar tidak tahu malu. Sekali lagi,
malulah kepada Tuhan kita. Malu adalah sebagian dari iman,
itu adalah sabda Rasulullah. Tapi
malu yang seperti apa? Dari
Abdullah Ibn Mas’ud r.a, diriwayatkan bahwa Nabi
bersabda “Orang yang malu kepada Allah dengan sepenuh malu adalah
orang yang menjaga kepalanya
dari isinya, menjaga perutnya
dari segala rezeki tidak halal,
selalu mengingat kematian,
meninggalkan kemewahan dunia dan menjadikan perbuatan akhirat
sebagai hal yang lebih utama.
Barang siapa yang melakukan
semua itu, maka ia telah malu
kepada Allah dengan sepenuh malu”. Dan, tahukah kita, apa yang Allah
berikan sebagai imbalan kepada
orang yang malu kepada Nya?
Sebuah perlindungan tanpa
tanding. Itulah janji-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawwab. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatulahi wa barakatuh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masukan anda